Porno di Papua
karena ketertinggalan di dalam bidang ekonomi,
membuat sektor ekonomi, budaya, dan aspek lainnya bagi rakyat Papua
tidak beranjak maju.
Bagi pengelola industri wisata,
ketertinggalan ini bisa juga dijadikan barang jualan--obyek wisata!
Bagi aktivis pengusung hak-hak masyarakat adat,
keanekaragaman ini bisa juga dilindungi
karena frustasi tak sanggup menahan ancaman MNC-TNC
meski mereka tahu betul, dalam adat, patriarki lebih berkuasa!
Industrialisasi Porno,
karena krisis kapitalisme (overproduksi) atas sektor-sektor industri,
maka modal membutuhkan variasi lapangan usaha yang lebih luas.
Keluar dari lapangan produktivitas yang "normal",
modal pun masuk ke lapangan baru,
mengindustrialisasi porno.
Inilah porno di perkotaan.
Dalam (Trouble with capitalism, Michael Shutt), pornografi
diterima sebagai industrialisasi di AS sejak tahun 1970-an, menyusul
mulai jenuhnya (overproduksi) sektor-sektor produksi "normal".
Hal yang sama juga dikritik secara sekilas oleh Michael Moore,
dalam film dokumenter "Bowling for Columbine",
industri senjata dan retail menjual peluru di pasar-pasar (supermarket),
seperti kacang.
Karena modal menuntut lapangan/sektor usaha yang lebih luas,
karena sektor yang lebih produktif,
sudah terlebih dahulu mengalami kesulitan dalam pelemparan hasil produksi
(akibat overproduksi, yang selalu berbarengan dengan kelemahan daya beli).
Porno di tepi rel kereta api,
karena lapangan kerja di sektor produktif makin sempit;
biaya pendidikan yang tinggi membuat perempuan-perempuan
banyak tidak memiliki resources dan akses, masuk ke jalur pendidikan,
sebagai tiket masuk ke sektor ekonomi produktif.
Jangankan mereka yang tidak punya pendidikan,
yang setengah berpendidikan atau menyandang gelar sarjana saja
banyak resah atas kelangsungan kerjanya.
Sementara, tanpa ampun, pemerintah dengan kebijakan neoliberal terus
maju dengan dada gagah, mengimplementasikan kebijakan neoliberal:
menaikkan harga BBM, Listrik, Pendidikan, dan lain-lain.
"Pendidikan memang mahal" kata Bambang Soedibyo.
"Yang tidak sanggup beli gas, tidak udah membeli", kata Aburizal Bakrie.
Tidakkah dengan kebijakan ini akan mendorong pornografi juga?
Sementara itu, salah satu ormas keagamaan sibuk men-sweeping daerah
pelacuran
Aku tidak sepakat dengan pornografi, namun itu hanya ekses.
Aku lebih tak sepakat dengan pemiskinan!
Peyebabnya akibat sistem ekonomi lah yang pertama harus dituntaskan.
Dan untuk itu, aku harus memiliki instrumen kekuatan politik, karena
Pemerintah tidak akan pernah peduli panjang atas penyebab pornografi.
"Para pelacur, sebentar lagi listrik naik. Kau mau lembur?"
"Para pelacur, akan ada RUU APP!" Kau mau apa?"
Friday, March 17, 2006
Porno di Papua, Industrialisasi Porno, Porno ditepi rel KA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
kamu ternyata kejam juga ya dalam kata-kata. aku jadi takut
wow ini baru wanita. aku jadi selera nih... selera kenalan maksudnya
he... he... he...
setujuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
Post a Comment